Pencegahan dan Penanggulangan Resiko Kebakaran
Walaupun musim hujan berpotensi banjir tengah melanda Indonesia, namun bukan berarti bahaya kebakaran tidak mengancam. Beberapa kejadian kebakaran di Jakarta cukup menyita perhatian masyarakat dan memakan korban yang tidak sedikit. Peristiwa yang paling mengemuka terjadi pada hari Minggu, 18 Januari 2009. Terjadi kebakaran di kilang minyak no. 24 depo Pertamina Plumpang - Jakarta Utara. Untuk menghindari kejadian seperti itu terulang, salah satunya pertu suatu manajemen proyek yang benar ketika proses konstruksi berlangsung.
Seperti yang dipaparkan prof. Ir. Khrisna Mochtar., Ph.D dalam suatu kesempatan bahwa resiko kebakaran pada konstruksi yang sedang dibangun maupun yang telah digunakan merupakan resiko yang dihadapi oleh pemilik, pekerja dan pengguna konstruksi tersebut, tidak terkecuali di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir data frekuensi dan kerugian (baik harta dan jiwa) dari kebakara konstruksi di Indonesia terus meningkat, sehingga perlu dicari jalan pencegahan dan penanggulangan yang komprehensif, sehingga dapat menekan resiko kebakaran secara signifikan. Manajemen poyek dan konstruksi sebagai sistem pengelolaan konstruksi yang integratif dan komprehensif sejak dari tercetusnya ide pembangunan suatu konstruksi, perencanaan, studi kelayakan dan dampak lingkungan, perancangan, pelelangan, konstruksi, testing dan commissioning, terus sampai kepada pencegahan dan penanggulangan resiko kebakaran.
Fase Pencetusan Ide Dari Pemilik
Pemilik konstruksi adalah pihak yang pertama kali mencetuskan ide akan dibangunnya suatu konstruksi sesuai dengan keperluannya, seperti untuk dimanfaatkan sendiri, untuk bisnis atau untuk kepentingan masyarakat. Umumnya ide kebutuhan ini dipelajari lebih lanjut baik oleh pemilik sendiri, atau dengan jasa konsultan. Adalah sangat penting sejak dari pencetusan ide tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi saja tetapi sebaiknya juga memperhatikan aspek resiko kebakaran yang mungkin terjadi pada konstruksi yang digagas, sehingga jika suatu ide ternyata mengandung resiko kebakaran yang cukup membahayakan maka perlu dipikirkan alternatif lain baik dari jenis, peruntukkan, maupun lokasi konstruksi.
Fase Perencanaan dan Studi Kelayakan
Setelah secara pendalaman awal tersebut terindikasi bahwa ide tersebut boleh direalisir, maka umumnya diadakanlah suatu perencanaan (planning) dan studi kelayakan proyek secara lebih mendalam dan komprehensif, termasuk studi dampak lingkungan yang di Indonesia sudah menjadi kewajiban untuk proyek yang cukup signifikan. Umumnya perencanaan dan studi lebih menekankan kepada masalah ekonomi saja. Padahal analisis dari segi resiko kebakaran baik dalam masa konstruksi maupun pemanfaatan harus juga menjadi prioritas.
Fase Perancangan
Fase berikutnya adalah perancangan (desain) yang umumnya dikerjakan ahli perancangan konstruksi. Perlu ditekankan disiniaspek resiko kebakaran merupakan suatu hal yang harus diperhatikan dalam proses perancangan. Misalnya dari segi arsitektur masalah kemudahan dan kecepatan evakuasi jika terjadi kebakaran merupakan hal yang sama pentingnya dengan estetika dan fungsi bangunan dan ruang konstruksi. Demikian pula bahan finishing konstruksi yang lebih tidak (mudah) terbakar, adalah lebih penting dari pada bahan yang sangat indah dan fungsional tetapi sangat mudah terbakar.
Demikian pula perancangan beton dan baja yang lebih lama tahan terhadap panas api sehingga cukup waktu untuk evakuasi pengguna konstruksi ke tempat aman adalah hal yang sama pentingnya dengan analisi kekuatan (strength) dan kemampuannya (serviceability, lendutan, getaran dll) terhadap beban hidup, angin dan gempa.
Khusus untuk konstruksi yang “critical” sepeti Data Center, perlu dikaji secara mendalam, karena hilangnya data akan sangat fatal bagi pemilik data tersebut, bahkan menurut data National Fire Protection Association (NFPA) di AS, ada 125.000 kebakaran di gedung bukan perumahan pada tahun 2001 dengan kerugian mencapai 3.231 milyar dollar. Bahkan 43% dari bisnis yang tutup akibat kebakaran tidak mampu untuk buak kembali dan 29% yang buka kembali gagal dalam waktu 3 tahun, terutama akibat hilangnya data bisnis yang sangat berharga akibat kebakaran tersebut (Avelar, 2003).
Tidak kalah pentingnya adalah perancangan khusus kepada masyarakat yang mempunyai problem mobilitas pada saat kebakaran, seperti lanjut usia, cacat fisik, tuna netra, tuna rungu dan lain-lain. Untuk sebelum terjadinya kebakaran perlu dirancang dengan konsep mengenai jalan tersingkat evakuasi, memasang deketor asap tempat khusus dekat dengan pintu darurat bagi mereka. Juga peralatan khusus seperti komponen asesori listrik yang lebih aman terhadap kebakaran dan didesain khusus untuk kelompok masyarakat tersebut. (US Fire Administration, 1999).
Dari uraian diatas jelas peran manajemen proyek dan konstruksi, yaitu dalam proses perancangan konstruksi yang berorientasi kepada resiko kebakaran dalam segala keadaan dari konstruksi yang sedang dirancang, sehingga dapat meminimalkan resiko kebakaran. Peran ahli manajemen proyek dan konstruksi disini adalah memberi masukan kepada perancang konstruksi, dari segala aspek, termasuk bahaya kebakaran disamping aspek arsitektur, dan rekayasa (engineering) lainnya.
Fase Konstruksi
Kurang tepat apabila rancangan konstruksi yang sudah meminimalkan resiko kebakaran, tetapi kebakaran timbul dalam fase konstruksi akibat pengelolaan lapangan konstruksi yang tidak baik dan tidak berorientasi pada resiko kebakaran.
Manajemen keselamatan proyek (project safety) seringkali diletakkan pada prioritas lebih dibawah, dan secara struktur organisasi, sering tidak ada unit yang menangani keselamatan proyek, termasuk didalamnya dari resiko kebakaran. Bagaimana pengaruh kecelakaan termasuk kebakaran pada proyek terhadap biaya (direct cost and hidden cost) yang sangat tinggi sudahlah cukup jelas. Oleh sebab itu benefit ekonomis dari kesehatan proyek seperti penghematan biaya, motivasi SDM proyek yang tinggi, dan premi asuransi yang rendah adalah konsekuensi logisnya (Clough, 1986). Sebagai ikutannya adalah keharusan untuk membuat suatu perencanaan matang dalam hal keselamatan proyek, mencakup optimasi peran manajemen (termasuk tempat yang aman, alat yang aman, menjalankan aturan, mengadakan aturan keselamatan kerja) dan program keselamatan dalam proyek (program pelatihan, personel yang kompeten, pertemuan rutin keselamatan kerja, lomba keselamatan kerja antar proyek, peralatan, tanda-tanda dan inspeksi).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan kebakaran selama konstruksi. Pertama adalah “exposure”. Yaitu identifikasi resiko sumber resiko kebakaran dari bangunan sekitar proyek dengan menjaga jarak aman. Kedua adalah akses mobil pemadam kebakaran ke proyek harus tetap bebas hambatan. Ketiga adalah bahan mudah meledak dan terbakar yang ada dalam proyek, seperti arson, bensin/solar, gas, kayu, kabel dan alat listrik perlu ditempatkan khusus dan cermat untuk mengurangi resiko kebakaran. Akhirnya alat peringatan dan pemadam kebakaran darurat seperti alarm, tabung kebakaran, hydran dll perlu disediakan untuk penanggulangan jika terjadi kebakaran di proyek konstruksi (Federated Insurance, 2005; HSE 2005)
Asuransi kebakaran dan kecelakaan untuk proyek konstruksi juga merupakan suatu cara yang efektif dan efisien untuk menanggulangi kerugian kebakaran bagi pemilik proyek serta pula bagi semua pihak yang ada di proyek konstruksi seperti pekerja, manajemen, dan semua pihak yang secara legal berada pada proyek konstruksi. Oleh sebab itu,asuransi kebakaran umumnya diwajibkan dalam konstruksi, sehingga mengurangi dan menanggulangi kerugian bagi pemilik proyek dan melindungi semua pihak dari kerugian materiil (CWC brochure, n.d.)
Demikian pula semua pekerjaan konstruksi haruslah berorientasi kepada keamanan kebakaran konstruksi dalam pemanfaatannya kelak. Instalasi kabel listrik, lampu, hydrant, sprinkler harus sesuai denga peraturan dan ditest oleh instalasi berwenang untuk mendapatkan sertifikasi sesuai dengan aturan, selain hanya menekankan seperti umumnya lebih kepada efisiensi biaya dan waktu.
Fase pemanfaatan konstruksi
Manajemen proyek pada fase ini lebih banyak dikenal sebagai manajemen properti, yaitu pengelolaan fasilitas konstruksi (properti), sehingga dapat lebih efektif, efisien, legal dan aman, termasuk dari resiko kebakaran.
Manajemen kontrak dengan pengguna properti yang berbasis pada resiko kebakaran juga sangat strategis. Pasal mengenai pelarangan, pengguna untuk menambah atau merubah sebagian dan bahan properti yang menambah resiko kebakaran berikut sangsinya dapat dibuat dan masukkan ke dalam kontrak sewa properti. Demikian pula pasal mengenai denda yang tinggi bagi mereka yang menyebabkan resiko kebakaran.
Salah satu yang penting pula adalah pemeliharaan konstruksi. Setelah direncankan, dirancang, dan dibangun dengan baik dan telah berorientasi terhadap minimalisasi resiko kebakaran adalah penting untuk memeliharanya sehingga semua peralatan dan fasilitas pencegahan dan penanggulangan resiko kebakaran dapat berfungsi optimal. Program sederhana seperti pengecekan rutin terhadap seluruh peralatan dari properti termasuk terhadap bahaya kebakaran sangat penting untuk pencegahan dan penanggulangan resiko kebakaran properti. Demikian pula menjaga rute evakuasi kebakaran seperti pintu dan tangga darurat yang tetap bersih dan terang, serta lampu darurat dan ventilasinya, adalah sangat penting.
Tidak kalah pentingnya latihan rutin dari pengguna properti untuk evakuasi dari gedung pada saat kebakaran dengan cepat dan tepat, sehingga jika benar-benar terjadi kebakaran mereka dapat menyelamatkan diri dengan optimal, dan korban fisik dan jiwa dapat diminimalkan.
Untuk mengurangi resiko kerugian dari kebakara, selain antisipatif seperti semua uraian diatas sejak dari perencanaan sampai konstruksi dan pemeliharaan properti, cara pengalihan resiko dengan cara asuransi baik terhadap properti, isinya, dan penghuni/penggunanya adalah cara penanggulangan minimalisasi kerugian jika akhirnya resiko kebakaran terjadi juga. (NCAPM, 1991).
Sumber : Majalah Konstruksi, Februari 2009
0 komentar:
Posting Komentar